RACHMAT RHAMDHANI FAUZI PERSONAL SITE

Home | Artikel Buatan Rachmat | funny articles / artikel lucu

Personal Article / Artikel Pribadi buatan Rachmat

SEJARAH, FAKTA YANG FLEKSIBLE DAN TERABAIKAN


"Iqra!", perintah Allah dalam Al-Quran. Iqra adalah kata pertama yang diturunkan sebagai Firman Allah kepada Muhammad SAW. Sungguh menarik, hal yang pertama kali diperintahkan Allah kepada Rasullullah SAW dan seluruh umat manusia, bukanlah Syahadat atau Sholat, tetapi, Iqra. Allah tidak semata-mata menakdirkan bahwa "Bacalah!" adalah terminologi paling awal yang diturunkan dalam untaian Firman-Nya jika tidak ada pesan yang hendak disampaikan. Yang pasti, membaca adalah syarat dasar terbukanya wawasan pengetahuan tentang berbagai hal. Seseorang yang bijak akan menyadari bahwa membaca merupakan proses awal yang selayaknya dilakukan dalam merespons suatu hal, sebuah fenomena ataupun peristiwa. Dengan membaca, orang akan mengerti apa yang dihadapinya, sehingga dia dapat melakukan sesuatu yang memang seharusnya dia lakukan dengan tepat.



Persoalannya, tidak semua orang dapat membaca dengan baik. Membaca yang saya maksud di sini bukan membaca dalam makna denotatif. Untuk yang satu itu, kita tak usah mempebincangkannya sebab angka buta huruf kita memang masih cukup tinggi dan budaya baca masih sangat kurang. Yang saya maksud membaca di sini adalah membaca secara substansi. Yang kita pakai adalah makna konotasi membaca, yaitu mampu menangkap dan memahami suatu hal, sekompleks atau sesederhana apapun, sebesar atau sekecil apapun, seluas atau sesempit apapun secara benar.



Mari kita coba implementasikan praktek "membaca" ini dalam konteks sejarah. Kita tidak usah terlalu jauh menerawang tentang sejarah dunia. Sejarah Indonesia saja, mungkin masih terlalu simpang siur untuk dicari kebenarannya. Coba kita tanya pada diri masing-masing, apa yang kita dapatkan dari pelajaran sejarah yang dipelajari mulai dari SD sampai SMA, terurama yang menyangkut sejarah nasional. Banyak diantara kita yang mungkin sudah melupakannya.



Teman saya, dengan nada emosional, sibuk mencak-mencak mengenai persoalan-persoalan darurat bangsa ini. "Masalah di negeri ini sudah terlalu banyak" katanya. Lantas dia berbicara panjang lebar mengenai berbagai kemunduran multibidang. Masalah korupsi-lah, masalah birokrasi-lah, pengangguran-lah, hutang, bencana alam, anarkisme, penguasaan sektor ekonomi vital oleh asing, kualitas pendidikan, ...dst. Dia mengatakan bahwa solusi terbaik adalah melakukan perbaikan dalam skala individu terlebih dahulu, lalu ketika semua sudah melakukan perbaikan diri, maka kemudian perbaikan dalam skala yang lebih besar akan mengikuti. Sayang, dia mengemukakan solusi yang sungguh bagus dan seringkali dikemukakan dalam berbagai diskusi itu dengan nada yang murung, menyadari bahwa hal itu yang justeru sangat sukar untuk dimulai.



Memang sebuah pekerjaan yang sulit untuk mengubah perilaku insan-insan negeri ini. Orang akan melakukan sesuatu karena dia memang berniat ingin melakukannya. Begitu pula, orang akan mengubah perilakunya menjadi lebih baik dalam kehidupan ketika dia sudah mengerti untuk apa sesungguhnya dia berubah. Ketika sifat buruk manusia yang membawa pada problematika besar bangsa sudah menjadi sebuah kultur yang dianggap lumrah dalam kehidupan sosial, akan sangat sulit untuk mengembalikan kemampuan orang untuk bisa membedakan yang benar dari yang salah. Serangan globalisasi yang pada suatu bagian menanamkan nilai-nilai negatif terhadap masyarakat jika terus dibiarkan akan semakin merusak kualitas SDM. Pada akhirnya, harus ada suatu motivasi logis yang menjadi sebuah pemutar haluan yang menggerakan kapal besar bernama Indonesia keluar dari lautan krisis menuju samudera kesejahteraan.



Seperti apakah bentuknya motivasi yang paling tepat untuk diterapkan? Sejarahlah yang perlu diungkapkan dengan seterang-terangnya, sejelas-jelasnya, tanpa tedeng aling-aling apapun. Makhluk apakah gerangan sejarah itu sehingga dia sedemikian penting untuk diungkap kebenarannya? Bagaimana caranya sejarah dapat dijadikan motivasi perbaikan? Sejarah kadang terlalu sulit untuk dimengerti, meskipun betapa inginnya kita mengerti. Tapi coba juga berpikir, mungkin sejarah enggan untuk dimengerti karena kita sendiri yang memang tak pernah berniat untuk memahaminya.



Kemudian, ketika melakukan segmentasi SDM, pasti yang paling pas untuk dijadikan sebagai objek motivasi adalah SDM muda. Karena merekalah para generasi yang akan melanjutkan sejarah peradaban negeri ini. Pemahaman akan sejarah yang benar sudah sepatutnya ditanamkan kepada mereka. Yang menjadikan sebagian besar generasi pemuda saat ini tidak paham akan sejarah adalah karena pendidikan sejarah yang dulu diberikan kepada mereka sangat jauh dari kebenaran sejarah. Memang, tidak ada catatan sejarah yang 100% benar. Namun, setidaknya janganlah pendidikan sejarah berubah menjadi pembodohan sejarah. Selama 32 tahun orde baru berkuasa doktrin terhadap para siswa SD sampai SMA melalui pendidikan sejarah yang jauh dari nilai kebenaran terbukti menghasilkan generasi buta sejarah yang sangat tunduk kepada dominasi pemerintahan otoriter. Di banyak tempat di dunia ini, seperti apa wujus sejarah selalu tergantung kepada penguasanya.



Bersyukurlah terjadi reformasi pada tahun 1998. Terima kasih mahasiswa. Jelas peristiwa itu menjatuhkan rezim pemalsu sejarah yang dulu ketika berkuasa membuat sebagian besar masyarakat dibodohi dan mau saja ditindas. Sebelum reformasi, orang yang bicara benar tidak pernah akan aman karena para pemburu selalu mengikutinya. sejarah itu adalah sesuatu yang elastis. Reformasi seharusnya dijadikan momentum yang sungguh tepat untuk menjernihkan sejarah sehingga bangsa ini bisa lebih cerdas dalam melihat persoalan.



Kenyataannya, setelah reformasi bergulir selama delapan tahun lebih, sistem pendidikan negeri ini seolah tidak banyak berubah dari sistem pendidikan orde baru, terutama dalam hal pendidikan sejarah di sekolah-sekolah. Perlu digarisbawahi di sini bahwa yang saya maksud adalah sistem "pendidikan" bukan "pengajaran". Sungguh sangat disayangkan, sangat sedikit orang yang konsen terhadap masalah ini. Padahal, pemahaman akan sejarah yang sesungguhnya adalah masalah yang sangat krusial masa depan negeri ini. Sangat jelas sekali setelah terjadinya reformasi terjadi tarik-menarik kepentingan antar berbagai pihak sehingga masalah pendidikan sejarah yang merupakan masalah pokok penyebab hilangnya semangat nasionalisme pada generasi muda terabaikan.



Maka, kurikulum pendidikan bangsa ini sebaiknya diubah agar para siswa paham sejarah negeri ini seperti apa. Dengan mengetahui sejarah yang sebenarnya, generasi muda dapat "membaca" keadaan yang sebenarnya dan belajar dari kesalahan masa lalu. Ketika pembinaan pendidikan sudah dilakukan dengan sistematis dan terprogram dengan baik, hal itu akan menjadikan sebuah perubahan besar dalam kualitas SDM. Tidak apa-apalah upaya ini disebut doktrin, tapi doktrin yang positif.



Sayangnya, pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap masalah ini. Sejarah tetap saja seperti air keruh yang tidak dapat digunakan sebagai faktor penunjang kehidupan bangsa. Apa yang salah? Apakah memang pemerintah tidak mempunyai inisiatif sama sekali untuk mengungkap kebenaran? Ataukah karena alasan stabilitas, pemerintah takut melakukan revolusi pendidikan? Kenapa tidak banyak orang di negeri ini yang bersuara untuk melakukan pembenahan dalam sistem pendidikan sebagai solusi untuk membangun kesadaran massal negeri ini pada generasi mudanya? Namun bisa jadi jawabannya bukan karena tidak peduli, tetapi justeru karena kita terlalu bodoh untuk mamahami betapa pentingnya masalah ini.



Maka kebodohan dan ketidaktahuan itu sudah sepatutnya dihilangkan. Jawabannya, "Iqra!". Bacalah! Bacalah situasi dan kondisi negeri ini! Bacalah masalah apa saja yang ada! Bacalah kenapa semua itu bisa terjadi! Bacalah kemarin! Bacalah tahun lalu! Bacalah sewindu yang lalu! Bacalah satu dekade yang lalu! Bacalah bepuluh-puluh tahun yang lalu! Bacalah kebenaran! Bacalah Sejarah!







Rachmat Rhamdhani Fauzi



Jakarta, 26 Agustus 2006







PARADOKS

Setahu saya dan mungkin banyak yang sependapat dengan saya bahwa kata 'berkembang' itu menunjukan suatu perubahan. Pada prinsipnya, sesuatu yang tetap, statis, dan diam itu tidak dapat disebut sebagai 'berkembang'. Apalagi kalau hal itu menyangkut pengurangan jumlah ataupun penurunan mutu. Mengecil, menciut, mengerut, itu tentu bukan 'berkembang'. Berkembang adalah dinamis, fluid, selalu bergerak, mengembang, membesar, tumbuh, dan segala sesuatu yang dapat merepresentasikan pertambahan kualitas dan kuantitas. Berkembang adalah sebuah proses yang kontinu dan menuju ke arah yang lebih baik, bukan stagnan apalagi memburuk. Berkembang adalah maju bergerak ke depan, bukan diam di tempat atau lebih parah lagi mundur ke belakang.







Lantas, orang bilang kita harus bisa terus berkembang agar hidup ini dapat dilewati dengan mudah. Di era yang semakin global dan 'gombal' ini, kalau kita tidak bisa berkembang, kita tak bakal bisa hidup. Kemampuan berkompetisi, mengembangkan wawasan dan kualitas diri selalu menjadi wacana utama dalam suatu pembinaan, pelatihan atau pendidikan. Isu yang diangkat pun melulu mengenai tuntutan untuk bisa berkembang, meningkatkan kapasitas diri, mencetak prestasi dan lain-lain. Setiap organisasi, institusi, individu, atau pihak manapun pastilah ingin menjadi lebih baik. Siapapun, organisasi manapun, atau institusi manapun yang tujuannya ingin mundur dan menurun mungkin mereka adalah kumpulan orang tak waras. Mana ada mahasiswa yang kuliah karena ingin IP-nya turun terus dan akhirnya di-DO. Tidak ada pedagang yang berjualan karena ingin rugi. Tak pernah saya dengar ada organisasi atau institusi yang didirikan dengan tujuan untuk hancur dan bubar. Pada intinya, kita semua selalu dituntut untuk bisa terus berkembang. Maka dari itu, saya berkesimpulan bahwa istilah berkembang hanya digunakan untuk peningkatan dalam grafik yang positif







Akan tetapi, pandangan saya menjadi agak berubah ketika membaca tajuk Republika edisi Kamis, 10 Agustus 2006 dengan judul Saatnya Berinisiatif. Banyak hal yang dibeberkan dalam tulisan itu yang mungkin anda bosan mendengarnya. Lagi-lagi mengungkap hal yang buruk dari bangsa ini. Berikut ini adalah beberapa kutipan dari Tajuk tersebut:







"Seorang anggota DPR memperkirakan bahwa penerima jatah beras untuk rakyat miskin (raskin) pada 2007 akan naik hingga empat juta kepala keluarga sehingga menjadi 13,6 juta kepala keluarga."







"Tentu yang kadang-kadang bekerja dan kadang-kadang menganggur jauh lebih banyak lagi.







Kaum pesimistik menyebutkan bahwa angkatan kerja jenis ini yang biasa disebut sebagai setengah pengangguran bisa mencapai 50 juta orang. Suatu jumlah yang fantastik dan mengkhawatirkan. Dampak dari kenyataan ini bisa bermacam-macam: Kriminalitas meningkat, angka putus sekolah membengkak, kesehatan menurun, dan ujungnya adalah lahirnya lost generation.







Ada banyak faktor yang menyebabkan situasi semacam ini. Pertama, bencana tsunami dan berbagai bencana lainnya yang datang susul-menyusul. Kedua, kenaikan harga bahan bakar minyak secara drastis. Ketiga, hancurnya nilai tukar rupiah yang pernah menyentuh hingga di atas Rp 10 ribu per dolar AS. Keempat, kinerja kabinet yang buruk."







Tulisan yang banyak bercerita tentang kondisi miris ekonomi Indonesia ini membuat saya merenung. Sebuah renungan yang mungkin sudah menjadi renungan berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu, atau bahkan berjuta-juta manusia negeri ini. Dan tidak mustahil perenungan tersebut pernah juga singgah di pikiran anda. Renungan tersebut adalah renungan orang awam yang mencoba mengerti akan sebuah kejujuran. Renungan tersebut mencakup berbagai masalah yang terlalu kompleks dan luas untuk bisa digambarkan dalam kata-kata. Renungan tersebut adalah sebuah renungan sederhana yang bisa jadi mengubah pandangan kita akan arti dasar sebuah hakikat istilah, namun sudah barang tentu bukan hanya masalah istilah yang ada dalam hakikat itu. Renungan tersebut adalah kalimat sederhana yang terlalu rumit untuk didefinisikan. Renungan tersebut adalah pertanyaan sederhana yang terlalu sulit untuk dijawab. Renungan tersebut adalah rangkaian kata ynag menunjukan anomali dari definisi kata 'berkembang' yang kita bahas di awal. Renungan tersebut adalah, "Benarkah Indonesia kita tercinta ini adalah sebuah negara 'berkembang'?"







Berkembang adalah membaik, namun terminologi "negara berkembang" dalam konteks Indonesia berarti memburuk. Lantas, dimanakah kejujuran bahasa Indonesia sebagai cerminan budaya kolektif manusia Indonesia berperan untuk konsisten dalam menentukan makna sebuah kata? Bolehlah kita menjawab, itu kan hanya masalah gaya bahasa. Tetapi, apakah penggunaan majas itu merupakan representasi kemunafikan massal bangsa? Semoga saja bukan.







Berkembang berarti bertambah makmur, namun "negara berkembang"-nya kita adalah negara yang bertambah hancur. Tidak perlu saya sebutkan fakta-fakta apa yang mengungkap kebobrokan negeri ini, karena tentu berita mengenai hal itu sudah menjadi makanan sehari-hari, dan media pun mungkin sudah bosan untuk memberitakannya. Lalu, mengapa kita masih bangga untuk menyebut diri negara berkembang?







Lalu sampailah kita pada persoalan sederhana yang sulit untuk diejawantahkan. Sudah cukup beranikah kita untuk dengan legowo mengakui bahwa sebenarnya kita adalah negara miskin. Dan sepertinya kemiskinan ini sudah trademark kita. Kemiskinan telah merambah berbagai sektor, baik yang konkrit ataupun abstrak. Parahnya lagi, kita seolah memang ingin untuk miskin. Setelah ekonomi kita hancur, hutang pun jadi makanan sehari-hari. Padahal, jerat itu semakin lama semakin kuat. Semoga saja saya keliru kalau saya menilai para birokrat kita malah menikmatinya.











Saudaraku, tulisan ini bukan bertujuan untuk memupuk rasa pesimis kita, apalagi membuat pasrah dan putus asa. Bukan pula tulisan ini dibuat untuk memprovokasi upaya subversif. Naudzubillah. Tulisan ini hanya mencoba menyadarkan kita semua untuk berlaku jujur. Jujur dalam mengakui kekurangan dan kemunduran untuk kemudian lantas mengatasinya. Tulisan ini hanya sebuah igauan seorang anak yang mencoba berlaku terbuka mengakui kejelekan yang ada, untuk kemudian membuatnya menjadi lebih baik. Tulisan ini sekadar nada sumbang yang meminta untuk dinyanyikan dengan suara merdu yang tidak sumbang lagi, bukan untuk didiamkan atau malah semakin disumbangkan.







Nyanyian sumbang tidak mesti selalu sumbang. Nyanyian sumbang suatu saat bisa menjadi nyanyian merdu. Masalahnya, ketika nyanyian kita sumbang, beranikah kita untuk mengakuinya. Ataukah kita malah menutupinya dengan menyebutkan inilah nyanyian merdu kita yang kita setujui sesuai konsensus, padahal nyanyian itu sungguh tak enak didengar bahkan dinyanyikan. Biarlah nada masih sumbang, yang penting kita jujur bahwa kita masih sumbang. Dan dengan usaha yang keras, dengan semangat yang membara, suatu saat nyanyian kita akan menjadi nyanyian merdu yang didengarkan dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Amin.



Rachmat Rhamdhani Fauzi

Jakarta, 12 Agustus 2006















Enter supporting content here